Inilah kisah di balik terciptanya Sholawat Badar

Inilah kisah di balik terciptanya Sholawat Badar

  • August 17, 2024

Ulama karismatik asal Banyuwangi KH Ali Manshur Shiddiq menerima penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Rabu (14/8/2024).

Penghargaan ini diserahkan kepada putra Kiai Ali Manshur yakni KH Ahmad Syakir Ali dan Gus Saiful Islam Ali.

Kiai Ali Manshur menerima penghargaan atas karya Sholawat Badar. Ulama asal Banyuwangi ini menciptakan doa ini pada tahun 1962 saat menjabat sebagai Ketua NU Tanfidhiyah dan Ketua Departemen Agama Banyuwangi.

Konon Sholawat Badar digunakan untuk menyamai lagu ‘Genjer-Genjer’ yang juga populer saat itu.

Baca juga:Apa itu gempa Megathrust? Sejarah dan Potensi di Jawa Timur

Mengutip dari laman IAIN Tuban, ada cerita menarik di balik terciptanya Sholawat Badar. Sesaat sebelum Kiai Ali menulis puisinya, ia didatangi oleh orang-orang berjubah putih yang dianggap ahli Perang Badar dalam mimpinya.

Kisah ini diwariskan secara turun temurun hingga saat ini. Namun terlepas dari kisah tersebut, Sholawat Badar kemudian menjadi fenomena yang fenomenal di kalangan nahdliyin dan umat Islam Indonesia.

Pada Kongres PBB ke 28 di Krapyak, Yogyakarta tahun 1989, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan bahwa Sholawat Badar diciptakan oleh KH Ali Manshur.

Profil KH Ali Manshur Siddiq

Kiai Ali Manshur lahir di Jember pada tanggal 23 Maret 1921. Ia merupakan putra dari KH. Mansur bin KH. M. Shiddiq Jember bersama Nyai Shofiyah binti KH. Basyar de Tuban.

Baca juga:Golkar memberikan rekomendasi Pilbup Banyuwangi kepada Ipuk – peluang menangnya besar

Mengutip Laduni.id, Kiai Ali masih menjadi bagian dari keluarga As-Shiddiqi di Jember. Nama kakeknya adalah KH. M. Shiddiq (Jember) adalah guru dari ulama besar, seperti KH. A. Qusyairi, KH. Ahmad Siddiq, KH. Mahfuzh Siddiq, KH. A. Hamid Wijaya, KH. Abdul Hamid (Mbah Hamid Pasuruan), KH. Yusuf Muhammad dll.

Garis keturunan Kiai Ali turun ke tangan Pangeran Sayyid M. Syihabuddin Digdoningrat atau Mbah Sambu Lasem bin Aayyid M. Hasyim bin Sayyid Abdurrahman Basyaiban (Sultan Mangkunegara III).

Kiai Ali menghabiskan masa kecilnya di Tuban. Ia kemudian mempelajari ilmu agama di berbagai pesantren seperti Termas Pacitan, Lasem, Lirboyo bahkan Tebuireng Jombang.

Sejak kecil, Kiai Ali Manshur dikenal menyukai puisi. “Kiai Ali menyukai ilmu Arrudh (ilmu puisi) dan mempelajari ilmu tersebut di Lirboyo. Beliau sering diajak membicarakan permasalahan Arrudh kepada para pengasuhnya. Menurut Gus Dur, Kiai Ali juga belajar di Tebuireng,” anak kedua Kiai Ali. , Kiai Syakir Ali, seperti dikutip dari laman IAIN Tuban.

Kiai Ali juga aktif di Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Laskar Hizbullah, Dewan Konstituante, NU, Kementerian Agama RI dan Majelis Pimpinan Haji (MPH).

Beliau meninggal dunia pada tahun 1971 dan dimakamkan di kota Maibit, kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban.